Sejak hari Rabu kemarin, Botchan alhamdulillah sukses trial di 2 playgroup yang berbeda. Sebenernya pilihannya ya tinggal 2, tapi mau lihat lebih berat mana. Berhubung dulunya bergelut di bidang ini dengan pengalaman di 2 sekolah di 2 negara yg berbeda, jadilah aku termasuk yg rada cerewet soal milih playgroup– itu kata suami dan mamaku, hahaha ;D Jadi setiap survey sekolah, aku pertanyaannya rinci dan beragam, matanya jelalatan ke mana2, sampai2 ada yg udah curiga kalau saya dulu pernah menjadi guru ;p Boleh juga nih ngelamar jadi school critic, ada profesinya gak ya? Hahaha ;D
Sebenernya kalau Botchan di deket rumah ada temen2 seusianya, I wouldn’t mind waiting sampai dia umur 3 thn sebelum masukin dia ke kolam ikan yg lebih besar ;p Tapi karena sepi2, it’s time he make new friends dan menyadari klo ada banyak ikan2 lain di luar kolam kecil nan nyaman bernama rumah.
Atas permintaan bbrp teman, saya share kriteria saya scr garis besar dalam memilih playgroup untuk Botchan. Setiap keluarga memang ada pertimbangan masing2, I’ll just share ours, feel free to adapt krn setiap anak berbeda dan yg paling mengenal kebutuhan anaknya adalah orang tuanya sendiri, sesuai dengan values & prioritas masing2 keluarga.Tentu setiap orang tua ingin mencari sekolah yg “bagus” untuk anak2nya. “Bagus”? Itu predikat yg subyektif sekali. Keluarga kami mengkaitkan kirteria “bagus” dengan mempertimbangkan kombinasi antara fasilitas sekolah, kurikulum & metode pembelajaran, tingkat pendidikan guru2nya, dan “output” siswa2nya. Dan buat keluarga kami ada juga faktor keamanan si anak di sekolah itu, gimanapun juga preventing is better 🙂 Selain itu ada juga faktor keadaan keluarga: budget yg affordable serta lokasi.
* harga: jujur aja, kami nggak percaya anggapan bahwa pendidikan yg mahal menjamin bahwa dia sebagus harganya. Soal budget, kami nggak berminat membayar biaya yg terlalu mahal untuk sebuah pendidikan kalau masih ada alternatif lain yg relatif lebih cost-friendly dengan kualitas yg sebanding. Memang, nggak ada pendidikan yg gratis, tapi bagi kami yg penting biaya itu sewajarnya, bukan yg ridiculously expensive. Toh, for us, pendidikan anak ya nggak hanya di “sekolah” aja, melainkan yg utama ya dari rumah. Jadi sekolah untuk mendukung pendidikan di rumah 🙂
* lokasi: Kami sengaja memfokuskan pencarian sekolah yg letaknya nggak jauh2 dan mudah dicapai. Jadi nggak kelamaan di jalan dan juga kalau2 harus ke sana pakai kendaraan umum juga gak ngerepotin. Belum lagi kalau Botchan telat bangun, you know kids, they take for-e-verr to be ready. And he’s still 2. Paling enak di Jepang yg punya region sekolah untuk tiap daerah perumahan, jadi ke sekolah bisa jalan kaki/naik sepeda dan anak2 yg ke sekolah itu juga tempat tinggalnya masih se-area, sehingga komunitasnya juga lebih erat.
* perbandingan guru & murid: nah yg ini nih aku paling cerewet. Kenapa? karena perbandingan guru dan murid ini penting selain untuk interaksi guru-siswa, juga untuk keamanan. Keamanan? Yes. Salah satu hal yg guru daycare Jepang ngasih tau aku adalah, untuk anak2 batita itu rasio yg ideal adalah 1:3 at the maximum walaupun pemerintah setempat menganjurkan rasio 1:2. Jadi, kalau (naudzubillahminzalik) terjadi sesuatu yg membutuhkan evakuasi anak2 dengan cepat, setiap guru bisa membawa 1 anak di masing2 tangannya. Rasio ini disesuaikan seiring dgn usia, jadi misalnya untuk kategori anak 4-5 thn udah bisa 1:6. Perlu ditekankan, IDEALNYA. Klo di sini nggak nemu yg ideal, well tinggal disesuaikan saja dgn faktor2 lainnya. O ya, rasio ini juga berguna untuk pengawasan anak.. kalau terlalu kecil perbandingan guru dgn muridnya, ketika main bebas di halaman atau field-trip lebih sulit mengawasinya. Soal pengawasan ini nih yg menjadi the cutting point for our family. Karena buat kami ini adalah ikhtiar untuk menjaga keamanan si kecil, dengan selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Pelindung tentunya. Ini jugalah yg menjadi tanggung jawab yg paling berat ketika saya jadi guru.. karena mereka adalah anak2 orang tuanya, yg dititipkan kepada guru untuk dijaga dan dibimbing layaknya anak sendiri 🙂
* kurikulum, aktivitas, & metode pengajaran: nah ini nih yg sangat beragam. Setiap sekolah punya andalan masing2, dan itulah yg menjadi bargaining power mereka dan sumber kepusingan orang tua. Ada sekolah bilingual, English only, Bhs.Indonesia dgn sisipan English, atau full Bhs.Indonesia (yg ini agak jarang ya skrg? I wonder why?) — itu baru aspek bahasa. Ada yg menyebutkan diri mereka sebagai sekolah national plus, bertaraf internasional, internasional, sekolah alam, kindergarten, playgroup, kelompok bermain, preschool, halah.. seharusnya Diknas ada standarisasi istilah2 ini dan disosialisasikan kpd para orang tua, semacam glossary istilah pendidikan gitu 😉 Masih banyak istilah2 yg terdengar canggih yg dipakai oleh sekolah2, seperti kurikulum early childhood education (emang ada ya kurikulum yg khusus bernama ini??), pendidikan holistik, pendidikan karakter, macem2 dehhh… yg intinya adalah harus ditanyakan: ISINYA APA? Kegiatannya contohnya apa? Apa saja kegiatan si anak selama di sekolah, gimana jadwalnya, anak dibimbing dengan cara apa? Bisa jadi sekolah yg berbeda programnya pada dasarnya kegiatannya atau prinsip dasarnya serupa. It’s all about marketing, people 🙂 Oh ya, satu pertanyaan penting tapi sering bikin gelagapan guru: apa metode disiplin untuk anak? Because we all know kids. Kadangkala ada saat2 mereka ingin eksplorasi perbuatan yg mungkin saja kurang sopan, mengganggu yg lainnya, bahkan mungkin tidak aman bagi dirinya sendiri maupun teman2nya. Belum lagi kalau ada kejadian di rumah yg terbawa ke sekolah efeknya (based on past experiences, kadang justru sumber permasalahan yg dihadapi anak di sekolah itu dari rumah). Bagaimana si guru atau sekolah ini menghandle situasi2 seperti ini? Karena gimanapun juga anak perlu diajarkan batasan2 mengenai perilaku yg boleh & tidak boleh, dan sebaiknya diperjelas kepada orang tua supaya bisa disesuaikan dgn prinsip yg diterapkan di keluarga masing2.
* fasilitas: nah ini dia.. sekarang banyak sekali sekolah2 yg nawarin macem2 fasilitas buat siswanya.. biasanya makin banyak fasilitasnya, makin besar pula biaya sekolahnya 😉 Ada yg punya kolam renang sendiri, fasilitas outbound sendiri, kelas berAC, anter-jemput, mainan yg beragam, bahkan ada yg punya program 1 laptop 1 anak dari mulai kelas 1 SD. Yah, inilah yg harus hati2, bisa jadi yg sebenernya pingin sekolah lagi itu orang tuanya ;p We all want the best for our children, but we have to ask: is it really necessary? Apa sih yg penting untuk anak? Apa yg dia butuhkan supaya bisa tumbuh & berkembang dgn baik? Nah itu balik lagi ke masing2 keluarga ya 🙂 Yah kalau nggak mampu bayar masuk sekolah yg serba ada, bisa kita coba lengkapi dari rumah atau dari sumber lain. Sekolah idaman gak ada kolam renang? Spend family weekends at the pool. Sekolah deket rumah gak ada ekskulnya? Cari tempat kursus atau sanggar di luar. Bottom line: compensate. Sekedar perbandingan aja, di kota kecil kami dulu di Jepang, daycare untuk anak itu mainannya selain dari mainan biasa, banyak yg dari recycled goods (botol plastik bekas, karton susu bekas, dkk). Yg bikin gurunya, kadang bareng2 dgn siswanya yg sudah cukup umur. Yg banyak itu buku2 bergambarnya, dinding2 daycare dihiasi dengan tempelan prakarya anak2. Setiap daycare punya halaman yg cukup luas di depan, tapi nggak dipenuhi dengan aneka wahana dari besi/plastic fiber ala St*p2. Kalaupun ada, masih menyisakan bak main pasir dan lapangan yg cukup luas untuk anak2 lari2 atau bermain yg lainnya tanpa ancaman nabrak wahana permainan. Selalu ada pohon & hijau2 yg lainnya, bahkan kalau musim semi anak2 punya tanaman bunga masing2 yg harus dirawat. Ngawasin anak2nya juga lebih mudah, anak2nya juga lebih bebas bergerak untuk menyalurkan energi mereka. Kolam renangnya built-up atau pakai yg dari plastik untuk anak2 batita/balita, hanya dibangun pas musim panas. Nggak wah banget, tapi cukup.. they’re happy & thriving there 🙂
* pendidikan & karakteristik guru: apa latar belakang pendidikan guru kelas? adakah sertifikasinya? kepribadian mereka sekilas sewaktu bertemu apakah ramah atau cuek? seberapa banyak pengalamannya, apakah banyak yg senior2 atau masih fresh graduate semua? apa ada pelatihan/pengembangan berkala untuk guru2nya? IMHO, untuk menjadi guru sebenarnya nggak cukup hanya dengan “suka anak2” saja…
* siswa & outputnya : nggak bisa dipungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat yg beragam keadaannya. Ada keragaman agama, suku, budaya, tingkat pendidikan, sosial-ekonomi, dll. Jadi secara riil kita akan mempertimbangkan siapa sih yg akan menjadi teman2 anak kita, bagaimanakah pergaulannya nanti? Dan seperti apakah kira2 anak kita akan menjadi, kalau lihat dari siswa2 sekolah itu yg sudah lebih tua? In reality, saya kenal orang tua yg sengaja memasukkan anaknya ke sekolah negeri yg amat biasa supaya dia terbiasa dengan teman2 yg beragam keadaan ekonominya. Ada yg sengaja masukkan ke sekolah yg “wah” (ya fasilitas, ya SPPnya) dengan konsekuensi kadang2 si anak kadang mintanya yg mahal2 dan bermerek pula, lalu keluar istilah “ngafe” dan “nge-mall”. Ada yg memilih sekolah berbasis agama tertentu, ada yg khusus mencari sekolah yg full-English, macem2 deh… nah itu tinggal pintar2 kita cari info dari teman, tetangga, forum2 atau milis2. Malu bertanya, menyesal kemudian 🙂
* Extra soal keamanan: di sini memang mungkin belum wajib untuk suatu sekolah melatih anak2nya prosedur keselamatan ketika ada bahaya. Misalnya, bahaya kebakaran, gempa, atau yg lainnya. Mari ciptakan kesadaran ini dengan menanyakan pada sekolah.. siapa tau kalau banyak yg bertanya jadi sekolah juga akan mengusahakan 🙂 Buat keluarga kami, sekolah2 yg punya child-gates (pagar pembatas), child-friendly & safe facilities, dan fire-extinguisher langsung dapet nilai plus 🙂 Trus, nggak ada salahnya kita mengenalkan prosedur keselamatan untuk anak kita pakai kata kunci “fire drill, earthquake drill, dsb”.. cari di internet aja, banyak kok sumbernya 🙂
Okaiii, segitu dulu ulasannya. Bener kan, aku cerewet? hehehe 😉 Semoga bisa bermanfaat sebagai bahan pertimbangan teman2 semua 😀
They said…